Primata dan Durian : Primata Endemik dan Cita Rasa Asli Mentawai
Oleh A.Setiawan (A.Setiawan@swaraowa.org)
· Pohon durian juga sangat erat kaitannya dengan budaya Mentawai, sebagai pohon “Kirekat” dimana kalau orang yang sudah meninggal akan di pahatkan gambar tangan dan kakinya di batang durian yang masih hidup dan sebagai tanda, dan biasanya pohon durian dipilih yang paling baik, besar, berbuah lebat, dan tidak boleh di tebang
· Ada 5 jenis primata yang ada hanya di Kep.Mentawai yaitu Joja ( Presbytis potenziani), Bokoi ( Macaca siberu), Siteut ( Macaca pagensis), Bilou ( Hylobates klossii) dan Simakobu (Simias concolor)
Kalau anda penikmat durian, sekaligus hobi jalan-jalan di alam liar, anda harus masukkan Mentawai untuk tujuan wisata minat khusus ini. Kepulauan yang terletak kurang lebih 157 km dari Padang di Samudra Hindia ini menjadi sejarah alam yang harus di pertahankan untuk kita pelajari dan wariskan ke generasi selanjutnya. Ada 5 jenis primata yang ada hanya di Kep.Mentawai, yaitu Joja ( Presbytis potenziani), Bokoi ( Macaca siberu), Siteut ( Macaca pagensis), Bilou ( Hylobates klossii) dan Simakobu (Simias concolor) 1.
Ke lima jenis primata ini mengalami ancaman kepunahan yang tinggi, dimana IUCN telah mengkategorikan sebagai primata di kepulauan Mentawai dengan status Edangered, dan simakobu yang paling terancam punah dengan status Kritis ( Critically endangered), dan termasuk salah satu dari 25 primata yang paling terancam punah di dunia.
Pulau siberut adalah pulau terbesar, pulau Sipora menjadi pusat pemerintahan dan dua pulau besar yang lain adalah Pulau Pagai utara dan Pulau Pagai selatan. Kepulauan Mentawai sangat terkenal akan ombak besarnya di kalangan olahraga sport extreme, yaitu berselancar. Untuk ke Mentawai dapat melalui pelabuhan Muara Padang, dengan kapal cepat “Mentawai fast’ dapat menepuh kurang lebih 4-6 jam. Tujuan primate watching trip ini ke pulau siberut, dengan Malinggai Uma Tradisional Mentawai sebagai salah satu organisasi adat yang aktif di Pulau Siberut yang akan mendampingi perjalanan melihat primata-primata asli Mentawai.
Tujuan utama kami selain untuk primate watching sebenarnya adalah memberikan pelatihan khusus kepada anggota Uma untuk mengenal hidupan liar, khususnya dari jenis amphibi dan reptile, juga tentang serangga dari jenis-jenis capung. Acara pelatihan ini dapat di baca di laporan berikut ini.
Lokasi primatewatching kami adalah di dusun Tololago, desa Katurai, Kecamatan Siberut Barat Daya, hutan di kawasan ini diluar kawasan Taman Nasional Siberut, namun berdasar hasil survey tim Malinggai Uma kawasan hutan ini relatif baik kondisinya dan 5 jenis primata endemik Mentawai ada hutan Tololago ini. Untuk menuju hutan Tololago dari Muara siberut, melewati kawasan hutan mangrove tua yang sepertinya paling luas di Kep.Mentawai. Melalui terusan dari Sungai Siberut ke Teluk Katurai, yang dikenal dengan nama Bandar Monaci, yang menurut cerita dibuat oleh pastor Vatikan yang membuat terusan ini tahun 80an, terusan yang menghubungkan Teluk Katurai dan Sungai Siberut ini menjadi nadi ekonomi, yang menhubungkan kawasan penting di Siberut barat yang banyak wisatawan surfing dan penduduk siberut di sekitar Teluk Katurai, transportasi hasil bumi, perikanan, wisatawan melalui lebih dekat lewat terusan ini, dibanding menyusuri bagian luar pulau siberut yang tentunya ombak dan ongkos bahan bakar tidak mesti bersahabat.
Hutan di Dusun Tololago saat ini menjadi tujuan wisata minat khusus yang sedang di kembangkan oleh Malinggai Uma dan warga sekitar untuk Pengamatan Primata Mentawai. Terletak di luar kawasan konservasi, Taman Nasional Siberut hutan di belakang dusun ini masih relatif lengkap primatanya. Sayangnya kegiatan penebangan pohon untuk kegiatan pembangunan dan pengadaan rumah rakyat terlihat saat kami datang sedang mengolah kayu-kayu besar dari hutan.
Jalur pengamatan kami melewati kebun durian yang sudah terlihat hampir siap panen, ada 3 varietas durian yang ada di Mentawai, yang pertama adalah Durio zibetinus, yang seperti durian pada umumnya, buah berduri keras dan tajam, warna daging buah putih ke kuningan. Dua lagi dikenal dengan nama Toktuk dan Kinoso, berduri panjang dan tidak tajam. Tidak seperti daerah lain, penduduk asli Mentawai lebih suka makan durian yang belum sepenuhnya masak, dagingnya masih keras dan mengkal. Katanya yang durian terlalu masak bisa membuat demam badan.
Melihat langsung habitat asli durian Mentawai tumbuh, dan mencicip rasanya tentu merupakan pengalaman berbeda, pohon durian ini tumbuh di hutan, yang bisa dikatakan penanda untuk lahan hutan ini dimiliki oleh suku keluarga atau suku tertentu. Pohon durian juga sangat erat kaitannya dengan leluhur asli Mentawai, sebagai pohon “Kirekat” dimana kalau orang yang sudah meninggal akan di pahatkan di batang durian yang masih hidup dan sebagai tanda, dan biasanya pohon durian dipilih yang paling baik, besar,dan berbuah lebat, dan tidak boleh di tebang. Salah satu pohon penting dalam upacara adat Mentawai. Cara makan durian di Mentawai juga berbeda, biasanya orang Mentawai lebih suka yang masih keras, atau mengkal dan membelahnya juga langsung di tebas pakai parang, jadi dua, di rasain sedikit, kalau tidak enak langsung di buang.
Pengamatan hari sore hari itu, kami lanjutkan esok paginya, jam 5.30 kami sudah bersiap dan berangkat ke hutan, kami mencata suara Bilou terdengar jelas dari belakan sebelah kanan dusun tololago, berjarak kira-kira 1 km. kira-kira 1 jam perjalan sampai di bukit di belakan hutan kami berhenti, dan sangat beruntung sekali ketika sedang istirahat ini kami berjumpa dengan Simakobu ( Simias concolor), salah satu primata paling terancam punah di dunia. Morphologi simakobu yang khas adalah ekornya yang pendek seperti ekor beruk, meskipun termasuk monyet pemakan daun, tubuh berwarna hitam dan muka juga hitam, ada sedikit bulu-bulu warna putih di sekililng kanan kiri pipi. Rambut di kepala agak membentuk jambul di depan dengan bagian samping rambut jambang lebih panjang. Secara taxonomy simakobu jenis monotypic, 1 genus dan 1 species saja, tidak ada subjenis lainnya, namun secara evolusi kekerabatan simakobu lebih dekat dengan Bekantan (Nasalis larvatus) yang ada di Kalimantan.
Simakobu |
Simakobu diburu, dengan alasan preferensi rasa dagingnya, selain itu alasan berburu simakobu lebih mudah, karena pergerakan simakobu ini relatif lebih lambat dibanding primata lainnya yang ada dimentawai. Ukuran tubuh dewasa yang bisa mencapai 10 kg, tidak selincah Bilou yang dapat berayun cepat dari pohon ke pohon lainnya. Dari pengamatan kami sejak kami pertama kali menjumpai simakobu, 1 individu yang kami lihat tersebut hanya diam saja, tidak bergerak sedikitpun, duduk diam dan sepertinya memang hal itu perilaku simakobu ketika bertemu manusia sebagai predator utamanya. Kondisi seperti ini sangat memudahkan para pemburu untuk menembaknya dengan senapan atau panah beracun. Pohon Dipterocarpus sp, sepertinya menjadi pohon favorit untuk bersembunyi simakobu, karakter pohon besar tinggi, daun lebar, dan biasanya banyak di tumbuhin liana, ephipit dan paku-pakuan menjadi penghalang untuk simakobu terlihat, dan karena sifatnya yang tidak bergerak sama sekali, biasanya orang akan mengira kalau simakobu yang di cari sudah tidak ada di pohon tersebut, setelah menunggu beberapa lama. Meskipun agak terlalu jauh namun cukup untuk mendapatkan foto dan melihat langsung simakobu, terlihat ada beberapa gerakan lain di cabang pohon lain, namun simakobut tidak terlihat.
Tidak berapa jauh dari kami melihat simakobu, Nampak dengan jelas sekali primata hitam dan bergerak cepat berayun dari cabang pohon ke pohon lain, ya itulah Bilou yang sejak tadi pagi terdengar bersuara. Satu terlihat dengan jelas Jantan namun sepertinya belum sepenuhnya dewasa ,terlihat dari ukuran tubuh dan akftifitasnya yang agak jauh dari kelompok intinya, aktif berayun dari sana kemari, sesekali melihat mencari arah siapa yang ada disekitarnya, rupanya bilou ini sudah mendeteksi keberadaan kami juga. Ada 4 individu dengan 1 bayi yang masih digendong, dalam grup yang teramati. Jenis burung yang sempat termati dalam perjalanan kali ini di antaranya : Kailaba (Anthracoceros albirostris), Mainong (Gracula religiosa), Laibug (Dicrurus leucophaeus), Ngorut (Ducula aenea) dan Taktag ( Pycnonotus atriceps) 2.
Kailaba |
Mainong |
Perjalanan kembali ke Malinggai Uma, tim dari uma memberitahu kami kalau nanti kita akan ambil durian diladang, ladang ini terletak di tepi teluk Katurai, dibelakang hutan mangrove yang tadi kita lewati, benar saja ketika kami pulang melewati teluk katurai yang tenang tersebut, pompong kami membelok ke kanan kea rah mangrove dan mencarai bandar untuk menepi. Setelah sampai daratan kami menunggu di tempat lokasi pompong kami berlabuh. Tim dari uma malinggai kemudian turun dan lansung masuk ke balik rapatnya pohon bakau dan Sagu. Lama kami menunggu setelah salah satu tim kembali ke pompong dengan 2 durian di tangan, kami disalahkan makan dan mereka balik lagi ke dalam rimbunnan pohon bakau dan sagu.
Hampir 15 menit kami menunggu, mereka kembali muncul dan kali ini dengan 3 pikul durian !!. “masih banyak lagi di dalam, smua durian, toktuk belum ada” kata Damian, cara membungkus durian juga sangat unik dengan daun sagu yang di anyam sedemikian rupa, ada sekitar 20 biji dalam masing-masing bungkusan ini. Kami pun sejenak tertegung dengan apa yang kami lihat, mereka menjelaskan kalau durian yang sudah jatuh ini bisa di ambil oleh siapa saja yang mau, meskipun ini bukan ladang milik kita. Hampir setengah sampan penuh durian kita bawa pulang ke uma, setelah kita puas makan durian asli Mentawai ini. Untuk rasa durian, dalam satu ladang ini sepertinya cukup beragam, daging buah juga ada yang tebal dan tipis, ada rasa pahit, ada manis dan ada juga yang seperti tepung manis degan sedikit kesat. Cita rasa ini hanya ada di Mentawai !
Hampir 15 menit kami menunggu, mereka kembali muncul dan kali ini dengan 3 pikul durian !!. “masih banyak lagi di dalam, smua durian, toktuk belum ada” kata Damian, cara membungkus durian juga sangat unik dengan daun sagu yang di anyam sedemikian rupa, ada sekitar 20 biji dalam masing-masing bungkusan ini. Kami pun sejenak tertegung dengan apa yang kami lihat, mereka menjelaskan kalau durian yang sudah jatuh ini bisa di ambil oleh siapa saja yang mau, meskipun ini bukan ladang milik kita. Hampir setengah sampan penuh durian kita bawa pulang ke uma, setelah kita puas makan durian asli Mentawai ini. Untuk rasa durian, dalam satu ladang ini sepertinya cukup beragam, daging buah juga ada yang tebal dan tipis, ada rasa pahit, ada manis dan ada juga yang seperti tepung manis degan sedikit kesat. Cita rasa ini hanya ada di Mentawai !
Jenis-jenis primata dan keragaman cita rasa durian alam di kepulauan Mentawai, adalah dua kombinasi yang istimewa untuk penikmat primata di alam liar dan pecinta durian.
Daftar pustaka :
1. Setiawan A.,Agustin I Y,Handayani K.,Saumanuk I.,Tateburuk D.,Sakaliau M,.2019. Primata Kepulauan Mentawai, SwaraOwa-Malinggai Uma Tradisional Mentawai, Yogyakarta
2. Taufiqurahman I.,Saumanuk I.,Tateburuk D.,Sakaliau M.,Setiawan A,. 2019. Burung-Burung Kepulauan Mentawai, SwaraOwa- Malinggai Uma Tradisional Mentawai, Yogyakarta
Komentar