Menggagas Pengelolaan Kolaboratif Hutan Petungkriyono

  Oleh : Ahmad A Fahmi, Arif Setiawan, 22 Maret 2019

  •   Hutan Petungkriyono termasuk dalam BKPH Doro, KPH Pekalongan Timur memiliki luas 5189,507  ha, terdiri atas hutan Produksi Terbatas dengan Tanaman Pokok Pinus dan Hutan Alam Kayu Lain atau hutan alam yang berfungsi sebagai Hutan Lindung Terbatas (HLT) untuk fungsi Lindung Hidrologis 
  • Habitat satwa-satwa dan flora endemik Jawa, seperti : Owa, Macan tutul, Elang Jawa
  • Atraksi wisata yang ditawarkan sebagian besar berupa air terjun, wisata sungai, dan pemandangan alam. Jenis wisata yang dikembangkan masih berupa mass tourism dimana pengembangan infrastruktur buatan seperti tempat selfie yang instagrammable menjadi obyek favorit wisatawan
  • ·Berkembangnya kegiatan wisata alam di kawasan ini dapat dijadikan bukti bahwa hutan mampu memberikan manfaat ekonomi tanpa harus menebang ataupun mengubahnya.
  • Kelestarian  hutan merupakan kepentingan dan kebutuhan berbagai lapisan masyarakat, baik yang tinggal di sekitar hutan maupun masyarakat yang tinggal di daerah hilir, rusaknya Hutan Petungkriyono  akan memberikan dampak negatif  bagi keanekargaman hayati dan potensi ekonominya dan resiko bencana alam bagi masyarakat yang tinggal di daerah hilir,



Petungkriyono merupakan daerah pegunungan dengan ketinggian antara 600-2100 meter di atas permukaan air laut (mdpl) dimana sebagian wilayah merupakan daerah dataran tinggi Pegunungan Serayu Utara. Sebelah Selatan merupakan Kawasan Dataran Tinggi Dieng dengan rangkaian gunung seperti Gunung Rogojembangan, Gunung Kendalisodo, Gunung Sikeru, Gunung Perbata, Gunung Geni, dan Gunung Kukusan.


Kecamatan Petungkriyono berada di wilayah Kabupaten Pekalongan bagian Selatan yang berbatasan dengan Kabupaten Banjarnegara di bagian Selatan. Luas wilayah Kecamatan Petungkriono adalah 7.358,523 ha yang sebagian besar adalah hutan negara seluas 5.189,507 Ha. Luas pemukiman hanyalah 119,652 ha (16 %) dari luas wilayah. Kawasan hutan di Kecamantan Petungkriyono merupakan salah satu kawasan hutan tropis yang masih tersisa di Pulau Jawa, khususnya Jawa Tengah. Sebagian kawasannya yang masih utuh, rangkaian pegunungan Dieng di tengah Pulau jawa, mampu mendukung kehidupan beberapa satwa langka yang terancam punah seperti Elang jawa, monyet daun (Lutung dan Rekrekan, Macan tutul dan juga juga satwa endemik jawa yang sangat penting yaitu owa jawa (1; 2). 


Hutan Petungkriyono termasuk dalam BKPH Doro, KPH Pekalongan Timur memiliki luas 5189,507  ha, terdiri atas hutan Produksi Terbatas dengan Tanaman Pokok Pinus dan Hutan Alam Kayu Lain atau hutan alam yang berfungsi sebagai Hutan Lindung Terbatas (HLT) untuk fungsi Lindung Hidrologis . Hutan lindung memiliki luas 1931,90 ha (SK Menhut Nomor: 359/Menhut.II/2004 tanggal 1 Oktober 2004) (3). Hutan lindung Petungkriyono berfungsi sebagai Hutan Lindung Terbatas, Hutan lindung Petungkriyono masih merupakan hutan primer yang relatif terjaga, dengan tipe vegetasi hutan hujan tropis. Hutan primer merupakan hutan yang belum pernah dilakukan tebang habis (4).
Owa Jawa (Hylobates moloch)

Potensi dan Ancaman
Kondisi hutan yang masih utuh memberikan dampak sangat positif terhadap lingkungan sekitarnya, dimana banyak sungai dan air terjun yang masih dialiri air jernih sepanjang tahun. Dengan kondisinya yang masih alami, Kawasan Hutan Petungkriyono mempunyai potensi wisata alam yang sangat besar. Pada saat ini terdapat sekitar  8 obyek wisata alam yang terdapat di kawasan tersebut yang dikelola oleh masyarakat bekerjasama dengan Perhutani.

Atraksi wisata yang ditawarkan sebagian besar berupa air terjun, wisata sungai, dan pemandangan alam. Jenis wisata yang dikembangkan masih berupa mass tourism dimana pengembangan infrastruktur buatan seperti tempat selfie yang instagrammable menjadi obyek favorit wisatawan. Ekowisata meskipun sudah menjadi wacana di tingkat pemerintah daerah semenjak tahun 2005 namun masih belum dikembangkan secara serius meskipun potensi yang ada sangat besar.Masyarakat di sekitar Kawasan Hutan Petungkriyono saat ini tengah mengembangkan banyak inisiatif dan membangun berbagai obyek wisata di sekitar kawasan hutan ini. Berbagai atraksi coba dikembangkan oleh masyarakat seperti, melihat air terjun, wisata sungai ( river tubing, river tracking), pengamatan satwa di alam dan umumny pemandangan bentang lahan dan topografi bergunung dengan kehidupan pedesaan yang asri.

Pengembangan potensi wisata ini masih bersifat sporadis dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat atau individu secara mandiri. Pihak pemerintah daerah sendiri sangat mendukung dengan pengembangan wisata alam ini. Sejak tahun 2018 dilakukan penyempurnaan akses ke dalam kawasan dengan memperbaiki jalan. Saat ini akses jalan ke dalam kawasan sangat lancar karena jalan sudah berupa aspal hotmix dengan lebar 4 m. Dengan semakin terbukanya akses ini maka kegiatan wisata di kawasan ini semakin marak.

Berkembangnya wisata alam di kawasan ini merupakan berkah tersendiri bagi masyarakat. Kunjungan semakin meningkat pada hari-hari libur. Namun disisi lain kegiatan wisata ini berpotensi untuk meningkatkan gangguan terhadap kehidupan satwa liar yang ada di kawasan, jika tidak terkendali kegiatan wisata yang berlebihan justru dapat berefek negatif terhadap satwa liar seperti Owa Jawa yang merupakan ikon kawasan ini.

"primatewatching" salah satu kegiatan wisata minat khusus

Di sisi yang lain ternyata kawasan ini juga masih mengalami tekanan dan juga gangguan. Kegiatan-kegiatan pelanggaran hukum seperti perburuan liar dan juga pembalakan liar masih terjadi di kawasan hutan ini. Perburuan liar yang terjadi saat ini dilakukan oleh pendatang dari luar dan sebagian juga masyarakat setempat. Jenis satwa yang diburu adalah terutama jenis-jenis burung, kijang , Ayam hutan, babi hutan, luwak, trenggiling, landak, dan berbagai macam satwa lainnya. Bisa dikatakan tidak ada jenis satwa spesifik yang dijadikan target dimana satwa yang dijumpai itulah yang akan diburu.

Meskipun tidak dalam jumlah besar dan masif, disinyalir masih terdapat praktek illegal logging yang dilakukan oleh oknum masyarakat. Meskipun skala penebangan tersebut kecil namun jika dilakukan secara terus-menerus maka dikhawatirkan hal ini akan menimbulkan dampak kerusakan pada ekosistem hutan. Terdapat beberapa jenis kayu yang sering dijadikan target favorit para penebang yaitu kayu wuru dan kayu babi. Fenomena perburuan liar dan juga illegal logging yang terjadi di kawasan hutan ini menunjukkan bahwa sistem pengelolaan yang saat ini ada masih belum mampu memberikan jaminan keamanan bagi kawasan hutan ini.

Kebutuhan Dukungan Parapihak dan Nilai Penting Kolaborasi

Hutan dengan segala potensi dan fungsinya, sejatinya berhubungan dengan kepentingan banyak pihak. Kelestarian hutan bukanlah kepentingan pihak pengelola (dalam hal ini Perhutani, misalnya). Kelestarian  hutan merupakan kepentingan dan kebutuhan berbagai lapisan masyarakat, baik yang tinggal di sekitar hutan maupun masyarakat yang tinggal di daerah hilir, rusaknya Hutan Petungkriyono  akan memberikan dampak negatif dan resiko bencana alam bagi masyarakat yang tinggal di daerah hilir. Kerusakan hutan juga akan memicu hilangnya keanekaragaman hayati dan juga potensi ekonomi masyarakat seperti potensi wisata alam.

Berkembangnya kegiatan wisata alam di kawasan ini dapat dijadikan bukti bahwa hutan mampu memberikan manfaat ekonomi tanpa harus menebang ataupun mengubahnya. Pengelolaan wisata alam yang baik dan berkelanjutan ke depan tentunya juga membutuhkan peran banyak pihak. Dengan demikian pengelolaan Hutan Petungkriyono sejatinya juga membutuhkan dukungan dari banyak pihak selain institusi utama yaitu Perhutani. Masyarakat dan pemerintah desa perlu ditingkatkan kepeduliannya dalam hal ini. Instansi pemerintah daerah baik di kabupaten maupun provinsi juga seharusnya memberikan kontribusi positif bagi pengelolaan Hutan Petungkriyono yang lestari dan mensejahterakan masyarakat. Beberapa pihak yang terkait dengan kawasan ini adalah:

Table. Para pihak dan Fungsi Utamanya
Para Pihak
Fungsi/Peran Utama Yang diharapkan dalam pengembangan manajemen kolaboratif

Perhutani KPH Pekalongan Timur
Pengelolaan kawasan Hutan Petungkriyono secara umum.
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah
Berwenang dalam pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah Provinsi Jawa Tengah
Mengkoordinasikan peran parapihak di tingkat provinsi maupun nasional
Bappeda Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Pekalongan
Mengembangkan perencanaan pembangunan dan tata ruang wilayah
Balai Konservasi Sumberdaya Alam Provinsi Jawa Tengah
Pelestarian sumberdaya hayati terutama spesies langka di wilayah Provinsi Jawa Tengah, khususnya di kawasan Hutan Petungkriyono dan sekitarnya
Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Pekalongan
-         Mengembangkan program-program yang bertujuan menjaga kualitas lingkungan hidup
          Melaksanakan pemantauan terhadap kualitas lingungan hidup
Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Pekalongan
Mengembangkan destinasi dan obyek wisata yang ramah lingkungan dan berkeadilan sosial
Dinas PU
Meningkatkan kualitas infrastruktur
Kepolisian
Penegakan dan pembinaan hokum hokum
Pemerintah Desa
          Mengembangkan dan menjalankan kebijakan pembangunan desa yang ramah lingkungan  sesuai kewenangannya
        Mengembangkan program-program kesejahteraan berbasis dana desa
Masyarakat Desa  
Mengembangkan potensi hutan secara berkelanjutan,

      Berpartisipasi aktif dalam pengembangan kebijakan dan program pembangunan
Organisasi masyarakat / LSM
Pengembangan kapasitas, advokasi, networking, dll
Pihak Swasta/Perusahaan
            Mengembangkan  investasi berdasarkan prinsip keberlanjutan
            Pengembangan program-program Tanggung Jawab Sosial  Perusahaan (CSR)

Keterlibatan dan kontribusi dari berbagai pihak ini seharusnya tidak berjalan sendiri-sendiri namun juga ditopang oleh semangat mengembangkan sinergi atau keterpaduan sehingga terjadi hubungan yang saling melengkapi satu dengan yang lainnya sehingga pengelolaan kawasan ini dapat berjalan secara optimal. Jika peran parapihak ini  tanpa didasari oleh semangat menjalin sinergi maka hal ini dapat menyebabkan berbagai persoalan ke depan berupa konflik kepentingan antar pihak.(5) Oleh karena itu perlu dikembangkan sebuah proses kolaborasi parapihak yang berkepentingan dengan pengelolaan Hutan Petungkriyono.

Tujuan dari pengembangan Pengelolaan Kolaboratif di Kawasan Hutan Petungkriyono adalahMengembangkan kesepakatan-kesepakatan  parapihak yang terkait dengan Hutan Petungkriyono yang dapat menjamin kelestarian sumberdaya hutan dan keberlanjutan pengelolaan potensinya. Mengembangkan keterpaduan dan sinergi parapihak yang mempunyai kepentingan terhadap pengelolaan Hutan Petungkriyono. Mengembangkan dukungan yang lebih luas terhadap pengelolaan potensi dan pelestarian Hutan Petungkriyono

Dalam jangka pendek kegiatan pengembangan co-manajemen ini akan menghasilkan sebuah dokumen Rencana Induk Kolaboratif yang berisi gagasan mendasar dan umum parapihak dalam memanfaatkan sekaligus melestarikan kawasan Hutan Petungkriyono

Beberapa dampak yang diharapkan dari kegiatan penyusunan Rencana Kolaborasi Pengelolaan dan Pelestarian Kawasan Hutan Petungkriyono  adalah sebagai berikut: Munculnya keterpaduan dan sinergi yang konstruktif diantara parapihak yang terkait dengan pengelolaan dan pelestarian Kawasan Hutan Petungkriyono ke depan. Terkoleksinya data sebagai basis analisis untuk pengembangan Kawasan Hutan Petungkriyono ke depan. Terbukanya jalinan komunikasi antar pihak yang berkepentingan dengan Kawasan Hutan Petungkriyono sehingga mengurangi dan mencegah resiko konflik di masa yang akan datang. Meningkatnya kemampuan parapihak terutama masyarakat desa dalam menyusun langkah-langkah pengembangan Kawasan Hutan Petungkriyono yang menjamin kelestarian sumberdaya dan lingkungan.

Daftar Pustaka:

1 . Nijman, V. and Van Balen, S.B., 1998. A faunal survey of the Dieng Mountains, Central Java, Indonesia: distribution and conservation of endemic primate taxa. Oryx, 32(2), pp.145-156.
2. Setiawan, A., Nugroho, T.S., Wibisono, Y., Ikawati, V. and SUGARDJITO, J., 2012. Population density and distribution of Javan gibbon (Hylobates moloch) in Central Java, Indonesia. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 13(1).
3. SK Menhut Nomor: 359/Menhut.II/2004 tanggal 1 Oktober 2004
4. Fisher, R.J., 1995. Collaborative management of forests for conservation and development (p. 65). Gland, Switzerland: Iucn.



Komentar

Postingan Populer